Minggu, 30 Januari 2011

Awig-awig Subaru, Penanganan konflik subak, dan Mobilisasi sumber daya




Subak memiliki awig-awig ( aturan tertulis ) yang di buat dalam parhyangan dan pada umumnya sangat di hormati pelaksananya oleh anggota subak. Di samping awig-awig ada pula aturan-aturan lain yang disebut kerta-sima (kebiasaan-kebiasaan yang sudah sejak lama di laksanakan dalam aktivitas subak yang mirip sebagai suatu konvensi ) dan ada pula aturan yang tidak tertulis yang berdasarkan pada kesepakatan subak pada saat dilaksanakan rapat subak dan lain-lain, yang umumnya disebut dengan perarem. Dalam aturan tersebut umumnya berisi hal-hal yang berkait dengan kiat agar lembaga subak dapat berjalan sesuai dengan lembaga tersebut, yakni mengelola system irigasi berdasarkan harmoni dan kebersamaan.
Sementara itu, aturan-aturantertulis maupun tidak tertulis (awig-awig dan perarem ) yang diberlakukan pada subak yang berkait dengan kepentingan subakakan diterapkan, bila telah didapat kesepakatan dari semua anggota subak. Rapat subak untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan bersama pada umumnya dilakukan secara rutin menjelang musim tanam. Dalam rapat seperti itu akan ditetapkan pula hari baik (dewasa ayu) untuk memulai melaksanakan pengelolaan tanah, penanaman atau kadang-kadang menentukan jenis tanaman yang harus di tanam, dan pelaksanaan gotong royong untuk memperbaiki dan membersihkan jaringan irigasi. Pelaksaan gotong royong umumnya di sesuaikan dengan upacara magpag toyo/mendak toyo.
Pengertian Awig-awig
 Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya  dan    berlaku   sebagai    pedoman     bertingkah   laku   dari  anggota    organisasi   yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang   dibuat   oleh   masyarakat   yang   bersangkutan   berdasarkan   rasa   keadilan   dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah   satu   bentuk   organisasi   tradisional   yang   berwernang   membuat   awig-awig  adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi tradisional   Bali   lain   yang   juga   mempunyai   awig-awig,   seperti subak   (organisasi petani    lahan  sawah),   subak   abian    (organisasi   petani  lahan   tanah   kering),  dan kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa  teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas kesamaan leluhur), dan sebagainya.
Tujuan awig-awig
Tujuannya    tidak   lain  agar  subak   menjadi    lebih  kuat   dan mandiri dan anggota-anggotanya  dapat lebih diberdayakan serta terangkat kesejahteraannya. Dengan demikian, subak menjadi tangguh menghadapi berbagai tantangan modernisasi.
Awig-awig      ditulis  dalam    bahasa    Bali.  Di   beberapa    desa   yang   pernah   mengikuti   lomba, ditemukan   awig-awig yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan   aksara Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam kertas biasa.   Sistematika     awig-awig tertulis  yang  ada   sekarang  umumnya mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintahmelalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh   format   yang   lengkap.Sesuai   pedoman yang   ada, sistematika   awig-awig terdiri   dari Murdha   Citta  (Pembukaan)   dan   Batang   Tubuh. Batang tubuh   awig- awig     terdiri  dari  beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi    lagi dalam   Palet (bagian)   dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos   masih   diuraikan   lagi   dalam beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti misalnya     bab   pertama  disebut  Pratamas  Sargah, Bab kedua disebut  Dwityas Sargah, dan   seterusnya.  
Salah   satu   bentuk   organisasi   tradisional   yang   berwernang   membuat   awig-awig adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi tradisional   Bali   lain   yang   juga   mempunyai   awig-awig,   seperti subak   (organisasi petani    lahan  sawah),   subak   abian    (organisasi   petani  lahan   tanah   kering),  dan kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas kesamaan leluhur), dan sebagainya.
Tidak ada awig-awig yang seragam di seluruh bali,  karena awig-awig dibuat  disesuaikan dengan kondisi setempat yang mungkin saja bervariasi antara desa yang satu dengan yang lainnya.
Contoh konflik :
·        Menciutnya Areal  Persawahan Beririgasi Akibat Alih Fungsi
· Salah satu tantangan yang dihadapi subak adalah menciutnya lahan sawah beririgasi sebagai akibat adanya alih fungsi untuk kegiatan non-pertanian. Di Bali dalam beberapa tahun belakangan   ini   areal   persawahan   yang   telah   beralih   fungsi diduga  mencapai  1000   ha   per tahun. Penciutan areal sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di lokasi yang dekat kota karena dipicu oleh harga yang cenderung   membubung tinggi. Nampaknya petani pemilik sawah di daerah sekeliling kota cenderung tergoda oleh tawaran harga tanah yang tinggi. Sebab, jika dibandingkan   dengan    mengusahakan        sendiri   untuk    usahatani     hasilnya  sungguhtidak seimbang. Petani mungkin lebih memilih mendepositokan uang hasil penjualan tanahnya itu di    bank   dan   tinggal   menerima      bunganya      tiap  bulan   yang bisa   jadi  jauh   lebih   besar dibandingkan dengan hasil usahataninya.
·  Andaikata   penyusutan   areal   persawahan   di   Bali   berlanjut   terus   separti   sekarang   ini dikhawatirkan organisasi subak akan terancam punah. Jika subak hilang apakah kebudayaan Bali dapat bertahan karena diyakini bahwa subak bersama lembaga sosial tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Dalam kaitan ini para   petani   anggota   subak     perlu   dilibatkan    dalam   proses     pengambilan   keputusan   yang menyangkut  masalah   pengalih   fungsian   lahan  sawah   yang   berada   dalam   wilayah   subak mereka.

·        Ketersediaan Air Semakin Terbatas
 Meningkatnya   pendapatan   masyarakat   dan   jumlah   penduduk   serta   pembangunan   di segala   bidang   terutama   pemukiman   dan   industri  pariwisata   di   Bali   menuntut   terpenuhinya kebutuhan      air  yang    terus   meningkat  baik   dari  segi   kuantitas   maupun  kualitasnya.    Ini mengisyaratkan        bahwa    air  menjadi    sumberdaya   yang    semakin    langka.   Persaingan     yang menjurus ke arah konflik kepentingan dalam pemanfaatannya antara berbagai sektor terutama sektor   pertanian   dan   non   pertanian   cenderung   meningkat   di   masa-masa   mendatang.  Belum adanya   hak  penguasaan   air   yang   dimiliki  oleh para pengguna  merupakan salah satu   sebab pemicu  konflik   pemanfaatan air.  Hal  ini  dapat   dimengerti karena  air  yang   selama    ini dimanfaatkan lebih banyak untuk pertanian, sekarang dan di masa depan harus dialokasikan juga ke sektor non pertanian. Mengingat air menjadi semakin langka maka para petani anggota subak dituntut untuk mampu mengelola air secara lebih efisien dan demikian pula para pemakai air lainnya agar mampu mengembangkan budaya hemat air.Kerusakan  Lingkungan  khususnya Pencemaran Sumberdaya Air   Di   beberapa   tempat   telah   muncul   keluhan-keluhan   dari   masyarakat   petani   tentang adanya     pencemaran   lingkungan   khususnya   sumberdaya  air   pada   sungai   dan   saluran   irigasi akibat  adanya    limbah    industri  dan   limbah    dari   hotel  serta  pemukiman.  Kecenderungan menurunnya   kualitas   air   ini   akan   meningkat   seiring   dengan   meningkatnya   jumlah   industri yang mengeluarkan limbah beracun yang disalurkan melalui sungai maupun saluran irigasi. Dalam kaitan ini subak dituntut untuk mampu berperan aktif dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan.

·        Kerusakan  Lingkungan   khususnya Pencemaran Sumberdaya Air
·Di   beberapa  tempat   telah   muncul   keluhan-keluhan   dari   masyarakat   petani   tentang adanya pencemaran   lingkungan   khususnya   sumberdaya air   pada  sungai  dan   saluran irigasi akibat    adanya    limbah    industri  dan   limbah   dari  hotel  serta  pemukiman.  Kecenderungan menurunnya kualitas air  ini  akan meningkat seiring  dengan  meningkatnya jumlah industri yang mengeluarkan limbah beracun yang disalurkan melalui sungai maupun saluran irigasi. Dalam kaitan ini subak dituntut untuk mampu berperan aktif dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan.

Penanganan konflik:
      Membuat aturan (contohnya : awig-awig dan pararem)
 Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan pokok) mengenai kehidupan   desa   pakraman, sedangkan   aturan-aturan pelaksanaannya yang   lebih   rinci  dituangkan    dalam  bentuk   pararem. Dalam pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak dibedakan   penggunaannya.   Dalam   pengertian   khusus,   pararem diartikan sebagai keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem penyahcah  awig,yaitu   keputusan-keputusan  paruman yang  merupakan aturan pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam awig-awig  tetapi  dibuat   untuk   memenuhi   kebutuhan     hukum    masyarakat;   dan ketiga: pararem penepas wicara , yang berupa keputusan paruman mengenai suatu persoalan  hukum (perkara) tertentu,  baik yang     berupa  sengketa    maupun pelanggaran hukum (pararem panepas wicara ).
      Pemberian sanksi terhadap anggota subak yang terlibat konflik
Sanksi dalam awig-awig disebut   dengan   istilah pamidanda,  mempunyai tujuan  untuk     mengembalikan  keseimbangan apabila terjadi    gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan ), kemasyarakatan (pawongan ), d keagamaan       (parhyangan ).  Pamidanda  ini dalam  literature   hukum  ataupun    dalam    pemahaman    masyarakat  umum     lazim dikenal     sebagai   sanksi   adat.  Secara    umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda (uang   atau   barang)   disebut  artha   danda;   sanksi   yang   berkaitan   dengan   nestapa jiwa   atau   fisik  disebut jiwa   danda ;   serta   sanksi   yang   berkaitan   dengan   upaya pengembalian   keseimbangan   alam   gaib   (niskala)   disebut panyangaskara   danda.
Bantuk-bentuk   sanksi   dari   ketiga   golongan   sanksi   di   atas   sangat   bervariasi   dari yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain
sedangkan yang berat adalah karampag (hartanya  disita  untuk    dijual  kemudian  hasilnya    digunakan     untuk    melunasi kewajibannya di desa).   Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda  yang tergolong ringan   misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam  paruman), sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat    sebagai    kerama    desa).  Bantuk    sanksi   dari   golongan  panyangaskara danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme penjatuha sanksi   umumnya di lakukan oleh desa pakraman secara berjenjang melalui prajuru  sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru banjar   sampai   prajuru   desa)   dan   disesuaikan   dengan   berat   ringannya   kesalahan atau   akibat   yang   ditimbulkan   (masor   singgih   manut   kasisipanya).   Walaupun   di sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi)    sehingga   muncul   menjadi   kasus   yang   dimuat   di   media   massa,   secara umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala dan   niskala.   Secara   sekala   (alam   nyata)   awig-awig   diterima   dan   ditatati   karena merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman) desa,   pada   suatu   forum  dimana  semua   kerama   desa   mempunyai   hak   suara   yang sama.   Secara  niskala,   awig-awig   ditaati   karena   dianggap   mempunyai   tuah   atau kekuatan gaib   sebab   awig-awig baru   diberlakukan     setelah   diadakan    upacara pasupati atau pemelaspasan .
      Penerapan teknologi

Proses distribusi air irigasi yang adil pada dasarnya memanfaatkan teknologi yang sepadan sesuai dengan kebutuhan petani setempat. Gatra teknologi untuk dapat mencapai keadilan dan harmoni sesuai dengan filosofi konsep THK yang juga dicatat dalam system subak di bali adalah adanya suatu system pada komlek pemilikan sawah petani anggota subak masing-masing memiliki saluran suplesi (saluran air yang menuju komplek sawah petani), dan tempat air masuk/bangunan sadap (tembuku pangalapan) serta memiliki pula lokasi tempat pembuangan air irigasi dari komplek sawah petani tersebut (saluran drainasi). Air dalam saluran drainasi ini dapat dimanfaatkan oleh pihak lain. Dengan demikian melalui penerapan teknologi seperti ini akan tercapai harmoni dan kebersamaan sesuai dengan makna dari konsep THK dalam system subak.
   
Pencegahan konflik dalam subak
Semangat  gotong-royong  yang tinggi dalam melakukan kegiatan-kegiatan persubakan terutama dalam pemeliharaan jaringan fisik dan kegiatan ritual subak  Ritual subak merupakan unsure pemersatu para anggotanya sehingga  subak  menjadi organisasi yang kuat dan tangguh, Yang dapat mencegah konflik dalam subak.
Mobilisasi sumber daya
         Dalam proses  menuju     ke   masyarakat      industri/jasa   dan    selanjutnya      dalam menyongsong era globalisasi dan perdagangan bebas yang pelaksanaannya                    dilakukan secara bertahap   mulai   tahun   2003   nanti,   tidak   sedikit  tantangan   yang   harus   dihadapi   oleh   subak sebagai     lembaga    tradisional    di  Bali.  Tantangan-tantangan    tersebut    mungkin     saja  bisa menggoyahkan   sendi-sendi   kehidupan   subak   atau   bahkan   bisa   mengancam   eksistensinya apabila   tidak   dapat   diupayakan   agar   tantangan-tantangan   tersebut   dapat   dijadikan   peluang bagi subak untuk memperkuat dan meningkatkan peranannya di masa-masa mendatang sesuai dengan perkembangan zaman.
 Adalah     menjadi     tugas    dan   tanggung      jawab    moral    bagi    kita  semua     untuk menyumbangkan pikiran bagaimana agar subak sebagai warisan budaya bangsa yang bernilai luhur   dapat   dilestarikan.   Maksudnya   bukan   hanya   mempertahankan   nilai-nilai   lama,   tetapi sekaligus   membina   dan   mengembangkan   di   mana  unsur-unsur   yang   dipandang   sudah   tidak sesuai   lagi   dengan   tuntutan   masa   kini   maupun   masa   datang   dapat   dilakukan   penyesuaian- penyesuaian      sesuai  kebutuhan.     Tujuannya    tidak   lain  agar  subak   menjadi    lebih  kuat   dan mandiri dan anggota-anggotanya  dapat lebih diberdayakan serta terangkat kesejahteraannya.
Dengan demikian, subak menjadi tangguh menghadapi berbagai tantangan modernisasi. Subak    sedang    menghadapi      bermacam     tantangan,    lebih-lebih   dalam menyongsongera globalisasi yang jika tidak teratasi maka kelangsungan hidup subak bisa terancam. Tantangan- tantangan tersebut antara lain dapat diuraikan di bawah ini:
Persaingan dalam Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian yang Semakin Tajam
         Akan     tiba  saatnya bahwa  Indonesia    harus   terbuka   terhadap    masuknya     komoditi pertanian yang diproduksi di luar negari. Sektor pertanian pun mau tidak mau harus terbuka untuk investasi asing dan dituntut agar mampu bertahan pada kondisi persaingan bebas tanpa subsidi dari pemerintah. Malahan sekarang saja pasar-pasar swalayan di beberapa kota besar termasuk   Denpasar   sudah   mulai   kebanjiran   produk-produk   pertanian   seperti   buah-buahan, sayur-sayuran      dan   daging    yang    dihasilkan   petani   negara    asing   yang   dapat   menggeser kedudukan   produksi pertanian yang dihasilkan oleh petani-petani negeri kita sendiri. Untuk mampu   bersaing   dalam   pasar   ekonomi   global   maka   mutu   hasil   –hasil   pertanian   kita   perlu ditingkatkan.   Ini   berarti   bahwa   mutu   sumberdaya   manusia   termasuk   para   petani   produsen perlu terus ditingkatkan agar menjadi lebih profesional, efisien dan mampu menguasai serta memanfaatkan teknologi.

Puring

BAB I

PENDAHULUAN


Puring/Croton/Codiaeum variegatum merupakan tanaman pagar bahkan sering disebut sebagai tanaman kuburan merupakan tanaman yang kaya warna (Full Colour) ternyata saat ini disebut-sebut sebagai maskot baru tanaman hias yang sedang diburu para kolektor. Beragam motif dan bentuk daun menjadi daya tarik para kolektor
Tanaman Puring termasuk famili araliase atau jenis tanaman berkayu (berkambium) dari perdu sampai pohon. Jenisnya ratusan. Di antara sekian banyak jenis itu, yang paling dikenal adalah Puring Kura, Lilin, Cabe, Bulu Ayam, Api, Jet dan Spagethi. Pemberian nama disesuaikan dengan bentuk daunnya. Puring Lilin misalnya, karena garis tengah daunnya mirip lilin. Atau Puring Bulu Ayam, daunnya menyerupai bulu ayam.

Tapi tidak semua penamaan itu berdasarkan bentuk daunnya. Ada pula berdasarkan tempat terjadi persilangan atau asal dari tanaman Puring tersebut. Contohnya Puring Malang, karena jenis ini diperoleh dari hasil persilangan yang dilakukan di Malang, Jawa Timur. Demikian pula jenis Oskar, Kora, Ketapang, India, serta Kora Thailand.
Puring merupakan tanaman yang dimanfaatkan sebagai komponen pembuatan taman. Biasanya tanaman puring sangat cocok bila dikombinasikan dengan tanaman ground cover sebagai sebuah garis atau border taman, karana tanaman ini termasuk jenis perdu sedang yang vegetasinya berkoloni, sehingga terlihat menyatu dan harmoni dalam keseluruhan penampilan sebuah taman.


Pertumbuhan
Untuk saat ini belum ada yang mengetahui secara pasti Puring berasal. Ada yang mengatakan bahwa Puring berasal dari Indonesia Timur tetapi. Di Sulawesi dinamakan dendiki, Papua dinamakan Kama, Kalimantan dinamakan Dolok, Madura dinamakan Karotong dan di pulau Jawa Puring banyak ditemukan dengan beragam nama. Penyebaran jenis tanaman ini sebenarnya sangat luas mulai dari India, asia tenggara , Australia , dan Negara tropis di amerika latin . Sudah tentu jenis yang ada pun sangat banyak


Morfologi Tanaman

Perbanyakan
Puring yang saat ini mulai diperhitungkan sebagai tanaman hias yang punya potensi dan penggemar yang luas ternyata mampu melakukan perbanyakan dengan mudah. Dari batang keras yang dimiliki, metode stek dan cangkok menjadi yang paling mudah untuk dilakukan. Selain punya waktu yang relatif singkat hasil perbanyakan juga 100 % sama dengan indukan.
Tanaman hias dengan batang keras seperti halnya puring memang bisa tumbuh dengan mengandalkan penyerubukan alami. Namun butuh waktu yang cukup lama dan juga biji yang dihasilkan tidak bisa stabil kadang banyak dan sedikit. Dan yang utama hasil anakan dari biji punya kemungkinan besar tidak sama dengan indukan   
Dari model penyerbukan normal yang butuh waktu lebih lama lama ini sekarang banyak ditinggalkan oleh petani dan juga pengusaha tanaman hias. Pasalnya semakin lama perbanyakan tentu semakin lama keuntungan yang bisa diambil. Jadi cara tercepat dan teraman yang akan diambil dengan model cangkok maupun stek.
Cara kerja stek maupun cangkok sebenarnya adalah menumbuhkan akar sebagai serapan nutrisi pada bagian yang diinginkan. Metode ini hampir semua tanaman yang mempunyai batang keras atau berkayu bisa melakukannya namun dengan karakter yang berbeda..
Puring yang mempunyai batang keras mempunyai karakter yang berbeda dengan tanaman lainnya dengan karakter batang lunak. Bila di sejajarkan maka perbanyakan puring sama dengan tanaman yang sering kita lihat di sekitar kita dan yang paling mudah di dapatkan adalah tanaman buah. Berikut kami berikan dua alternatif tips dan trik perbanyakan puring.
Metode Stek
Metode stek merupakan cara yang paling mudah untuk dilakukan sebab tidak perlu persiapan yang panjang selain itu alat yang digunakan juga tidak terlalu rumit.
  • Siapkan peralatan yang terdiri dari gunting tanaman, pisau, plastik penutup, tali plastik, pot dan media tanam.
  • Siapkan media tanam dengan campuran pasir, dengan humus bambu.
  • Pilih batang puring yang sudah terlihat tua untuk dipotong. Cirinya cukup mudah perhatikan kulit bila sudah berwarna cokelat seperti kulit kayu berarti batang sudah siap di stek.
  • Potong dengan menggunakan gunting tanaman yang sudah dibersihkan. Hindari pengunaan pisau sebab batang punya struktur yang keras dan mengandung kayu.
  • Setelah terpisah jangan lupa untuk untuk menutup luka di pohon indukan dengan fungisida.
  • Bila daun terlihat rimbun potong di bagian bawah dengan menyisakan sekitar 5-7 daun. Tujuannya untuk mengurangi penguapan yang harus di jaga selama proses stek.
  • Ikat sisa daun mengarah keatas dan tutup dengan plastik untuk mengurangi penguapan.
  • potongan bawah dalam larutan perangsang akar sekitar 15-20 menit.
  • Masukkan dalam media tanam dengan urutan stylofoam/gabus bisa juga dengan menggunakan pecahan genting, selanjutnya masukkan pasir hingga setengah pot. Setelah itu masukkan potongan stek.
  • Lapisan atas gunakan campuran pasir dengan humus bambu hingga penuh.
  • Tekan media tanam hingga batang bisa berdiri tegak.
  • Siram media tanam dengan menggunakan sisa air perangsang akar
  • Tempatkan ditempat teduh.
Tanda berhasilnya proses stek bisa dilihat dari kondisi daun selama satu hingga dua minggu. Bila terlihat tetap segar bahkan tumbuh tunas baru berarti stek berhasil dan tutup plastik bisa dilepas. Cara stek ini mempunyai kelebihan cepat dan mudah namun keberhasilan  proses ini masih mempunyai keberhasilan hingga 90%. Jadi masih ada kemungkinan 10 persen tidak berhasil.
Untuk meminimalkan kegagalan usahakan saat melakukan pemotongan stek dipastikan pohon dalam keadaan sehat. Selain itu batang juga harus sudah tua supaya pertumbuhan akar bisa maksimal. Yang tak kalah penting adalah untuk menjaga kelembaban dengan menempatkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari.  
Cara Cangkok
metode cangkok
Cara kedua yang bisa dilakukan adalah dengan cangkok. Cara ini punya keberhasilan lebih besar dari pada model stek sebab akar di rangsang sebelum batang di potong. Namun beberapa nursery menganggap cara ini jauh lebih merepotkan.
  • Pilih batang yang sudah tua dengan warna cokelat. Usahkan batang yang dipilih lebih tua dari metode stek
  • Siapkan pisau tajam, plastik, media tanam, dan tali plastik.
  • Kupas kulit batang sekitar 3-4 cm untuk tempat media tanam cangkok.
  • Masukkan media tanam yang terdiri dari humus daun dan bungkus dengan plastik
  • Lubangi plastik untuk memberikan sirkulasi udara
  • Siram media cangkok untuk menjaga kelembaban tanaman jadi jaga agar tidak keringBila akar sudah terlihat lepas media tanam dan potong batang.
  • Masukan dalam pot urutan sama dengan model stek.  

Metode cangkok ini lebih aman sebab saat dipisah dari indukan batang sudah mempunyai akar sehingga yang harus dijaga adalah kandungan nutrisinya. Namun cangkok memang punya waktu lebih lama dan batang yang dipilih harus lebih tua dari metode stek.

Perawatan
 Seperti tanaman hias lain pada umumnya, penampilan puring yang cantik dan eksotik juga bisa rusak gara-gara serangan sejumlah hama dan penyakit. Menurut hama tanaman puring yang perlu diwaspadai antara lain semut dan kutu putih. Untuk membasminya, lanjut dia, diperlukan pengamatan yang teliti terhadap kondisi kesehatannya dan melakukan penyemprotan dengan pembasmi serangga.

Agar penampilan puring tetap menawan, beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain:
1.Syaratmediatumbuh.
Media tumbuh yang baik harus mampu mengikat dan menyimpan air dan hara dengan baik, memiliki sistem sanitasi, aerasi dan drainase yang baik, sehingga tidak menjadi sumber penyakit dan bersifat tahan lama. Jangan sampai kondisi media tanam tersebut terlalulembab.

Komposisi media tumbuh puring bisa terdiri atas tanah merah, humus daun, sekam bakar, pupuk kandang dan bambu.

2.Penyiraman.
Puring akan tumbuh baik bila kebutuhan air tercukupi. Penyiraman dilakukan satu kali sehari, pagi atau sore jika kondisi panas, atau dua hari sekali jika kondisi hujan, atau jangan disiram jika kondisi media masih basah. Kelebihan air bisa menyebabkan akar busuk yang ditandai dengan rontoknya daun-daun muda.

3.Pencahayaan. Cahaya dianggap mampu membuat warna puring menjadi lebih cerah. Puring yang kurang cahaya warnanya akan memudar. Oleh karena itu, ada baiknya pemilik tanaman memenuhi kebutuhan tanaman ini akan cahaya matahari secukupnya. Bila puring dijadikan tanaman hias indoor, setiap sepekan sekali puring dikeluarkan agar kebutuhan akan panas atau cahaya matahari bisa tercukupi.

4.Pemupukan. Pemupukan bisa dilakukan melalui akar atau daun, setiap tiga bulan sekali. Pemupukan melalui akar dengan cara disiram atau ditabur di atas media sedangkan pemupukan melalui daun dengan penyemprotan. Dosis yang digunakan disesuaikan dengan jenis pupuk. Saat melakukan pemupukan, ada baiknya juga disertai dengan penggantian media tanam


PERANAN SUBAK DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI DAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN

A. PENDAHULUAN       
Percepatan laju pembangunan di segala sektor telah menyebabkan pergeseran
paradigma pengelolaan sumber daya air. Sistem Subak, suatu kearifan lokal
masyarakat Bali dalam pengelolaan sumber daya air dan tataguna air untuk
pertanian, yang telah dikenal di dunia, terancam oleh modernisasi pembangunan
sistem irigasi dan pengembangan pariwisata. Dewasa ini sikap antroposentrik
lebih dominan, diindikasikan oleh fokus pembangunan ke pertumbuhan ekonomi,
dan mengabaikan kearifan lokal yang ternyata sangat relevan dengan prinsip-prinsip
pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Penyertaan
masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan sistem irigasi diperkuat
oleh UU No. 7 Tahun 2004. Tetapi pelaksanaannya supaya mempertimbangkan
distribusi dan kecukupan air irigasi yang menentukan produktivitas lahan dan
tanaman. Partisipasi masyarakat dalam pembiayaan operasional dan pemeliharaan
sistem irigasi bergantung kepada keyakinan mereka bahwa teknologi
benar-benar bermanfaat. Lembaga di pedesaan yang bertanggung jawab dalam
persuasi keunggulan teknologi adalah kelompok tani dan Perhimpunan Petani
Pemakai Air (P3A). Ke depan perlu dipertimbangkan penyatuan kelompok tani
dan P3A. Langkah-langkah ke depan untuk mengonservasi sumber daya air dan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan air harus bersifat komprehensif,
mulai dari strategi pengelolaan daerah aliran sungai, operasional dan
pemeliharaan sistem pengairan, serta teknik irigasi.


 1. PERANAN SUBAK DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI


Subak, merupakan sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga yang mandiri (self governmet irrigation institution). Keberadaan subak yang sudah hampir satu millenium sampai sekarang ini mengisyaratkan bahwa subak memang adalah sebuah lembaga irigasi tardisional yang tangguh dan lestari (sustainable) walaupun harus diakui bahwa eksistansinya kini mulai terancam. Ancaman terhadap kelestarian subak adalah  bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali yang mengiringi derasnya arus globalisasi terutama pembangunan pariwisata Bali. Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak pemerhati irigasi di mancanegara.Sebab,  jika subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan Bali sampai sirna maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.
Meskipun subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali, terutama karena upacara ritual keagamaan yang senantiasa menyertai setiap aktivitaasnya, namun ia memiliki nilai-nilai leluhur yang bersifat universal dan sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut adalah falsafah Tri Hita Karana( harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antaramanusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia)  yang  melandasi setiap kegiatan subak. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar kita mengelola sumberdaya air secara arif  untuk menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, subak dapat didefinisikan sebagai lembaga irigasi yang bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana dengan fungsi utamanya adalah pengelolaa air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi dan palawija  Ketiga harmoni tadi menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi dalam melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai.
 DAS dari hulu ke hilir dikelompokkan
menjadi:
·         DAS hulu, sebagai zona tangkapan air, maka hutan-hutan dijaga agar
kemampuan menampung air hujan besar.
·         DAS tengah, sebagai zona konservasi air dan zona penggunaan air, yang
diwujudkan dalam bentuk sistem usahatani konservasi atau wanatani (agroforestry).
·         DAS hilir, sebagai zona penggunaan air, di mana sawah irigasi dominan.
Subak lokal di DAS hilir mengurus dan memperhatikan pembagian air
irigasi dan pengendalian cara penggunaan air oleh anggotanya dengan berpedoman
kepada awig-awig (peraturan tertulis dan sanksi atas pelanggaran).

Sistem Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber daya,
distribusi, dan penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara
paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam
proses pengambilan keputusan seyogianya mempertimbangkan segi politis,
ekonomi, sosial, dan budaya (religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai
pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural
development) telah diimplementasikan dalam sistem Subak

Subak memenuhi kaidah sebagai sistem irigasi sesuai dengan “Standar Perencanaan Irigasi” karena berdasarkan fakta di lapangan subak dengan jaringan irigasinya telah memiliki ke-empat fungsi pokok seperti yang disyaratkan yaitu :
Ø Bangunan utama disebut empelan (bendung) atau buka (intake)
Ø Saluran disebut telabah (bila berupa saluran terbuka) atau aungan (bila berupa saluran               tertutup).
Ø Hamparan petak-petak yang merupakan bagian dari subak yang disebut Tempek  atau    Munduk dilengkapi pula dengan bangunan dan saluran untuk membagi-bagikan air ke seluruh areal dengan saluran pembuangan yang disebut Kekalen
Ø Sistem pembuangan kolektif yang disebut pengutangan juga dimilki subak, yang umumnya berupa saluran alam (pangkung).

Sistem yg ada pada Subak di Bali, jaringannya hampir sama dengan jaringan teknis tetapi bangunan dan pengelolaannya berbeda.
v  Bendung  pd subak disebut empelan
v  Pemasukan (intake) = bungas
v  Saluran primer = telabah gede
v  Bangunan bagi sekunder = tembuku
v  Saluran sekunder = Telabah                                                                      
v  Bangunan bagi tersier = tembuku pemaron
v  Saluran tersier = telabah pemaron
v  Bangunan bagi kuarter = tembuku cerik
v  Saluran kuarter = telabah cerik

Dengan demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya agama Hindu yang berkembang pada saat itu di Bali yang memiliki konsep THK, yang dianut oleh para raja dan masyarakat setempat, dijadikan juga sebagai asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk mengelola air irigasi di lahan sawah
Perkembangan/perubahan yang tampak terjadi pada sistem irigasi subak disebutkan oleh Pusposutardjo (1996) sebagai suatu proses transformasi sistem irigasi dengan lingkungannya.
Kemudian dalam perannya sebagai pengelola pertanian beririgasi, maka seperti yang dikemukakan Pusposutardjo (1997), ternyata komponen manusia dalam sistem subak sangat dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktifitasnya untuk mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian tersebut.
Adapun hal yang penting dan mendasar dalam kajian ini adalah berkait dengan peranan subak sebagai institusi adat pendayaguna air, yang diharapkan mampu memecahkan masalah yang muncul secara integratif melalui pendekatan sosio kultural di tengahh-tengah arus perkembangan teknologi dan perubahan sikap hidup manusia.
Bila hal tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, maka manfaat yang kiranya dapat dipetik adalah :
1.      Untuk ilmu pengetahuan akan memperkaya bidang ilmu irigasi, khususnya dalam manajemen irigasi (irrigation management) melalui hampiran sosio-teknis dengan kasus subak di Bali yang berlandaskan THK, yang terbukti telah mampu mengembangkan suatu manajemen pengelolaan sumberdaya air (khususnya irigasi), berdasarkan pada aturan-aturan tertulisdan norma-norma religius/agama, sehingga dapat memanfaatkan air (irigasi) untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan. Disamping itu, bermanfaat pula untuk membuktikan kebenaran bahwa sistem irigasi subak adalah bersifat sosio-teknis, dalam batas-batas tertentu memiliki peluang untuk ditransformasi ke wilayah lain. Ini berarti akan sekaligus pula mempercepat proses pembangunan irigasi yang bercirikan THK.
2.      Untuk pembangunan bangsa dan negara, diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya air di Bali, dan kawasan lain yang serupa, yang dinilai sudah mengalami krisis air.
3.      Memecahkan permaslahan yakni berupa konflik penggunaan air yang bersifat multi guna, dengan mengembangkan konsep harmoni dan kebersamaan sesuai dengan hakekat THK yang  melandasi sistem subak.


 2. PERANAN SUBAK DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN

Di masyarakat ada dua aliran tentang pengelolaan sumber daya alam, termasuk
sumber daya air:

·         Aliran ekosentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kelestarian sumber
daya alam, tanpa peduli kepada kebutuhan hidup manusia.
·         Aliran antroposentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kebutuhan hidup
manusia, yang kalau tidak diatur dapat menjurus ke perusakan sumber
daya alam

Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak
terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang menunutut
pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu niscaya membutuhkan tanah.
Misalnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata 37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).
Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di sekitar kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya.
Sampai tahun 1999 pencetakan sawah baru dan alih fungsi lahan berjalan
bersamaan. Secara agregat pencetakan sawah baru justru menambah luas
lahan sawah sekitar 1,6 juta ha (Tabel 1). Lahan sawah bukaan baru belum
dimanfaatkan, karena tanah bereaksi masam dan kurang subur, lokasi terpencil
(penduduk jarang) atau konstruksi bangunan irigasi tidak tepat. Tampaknya
aliran antroposentrik yang merasuk ke pelaku pembangunan secara individual
atau korporasi telah menghasilkan pembangunan sistem irigasi yang sia-sia.
Pada era otonomi daerah, alih fungsi lahan lebih berorientasi ke peningkatan
pendapatan asli daerah yang berakibat terhadap bukan hanya berkurangnya
luas lahan produktif, tetapi juga kerusakan DAS hulu dan tengah yang berarti
menyia-nyiakan dana yang telah diinvestasikan untuk membangun jaringan
irigasi.
Alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non-pertanian merupakan proses yang bersifat
irreversible atau tidak dapat balik.Alih fungsi lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi,sosial,budaya ,dan politik masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan Winoto. 1996). Khusus untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal sawah beririgasi terus berlanjut, dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan warisan leluhur dan sudah terkenal sampai ke manca negara akan terancam punah. Kalau subak hilang, apakah kebudayaan Bali tidak akan mengalami degradasi karena diyakini bahwa subak bersama lembaga tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Selain dari pada itu yang tidak kalah memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai pengendali banjir dan pelestarian lingkungan ( flood control and environment preservation). Sistem Subak dapat hilang dan hanya menjadi bagian indah dari sejarah, kalau orientasi pembangunan pemerintah daerah lebih tercurah ke pembangunan pariwisata (Pitana 2003; Arwata 2003).
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik sawah di bagian hilir akan terkena
dampaknya yakni berupa pengurangan air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996). Guna menghindari berbagai kerugian dan dampak negatif dari alih fungsi lahan maka daerah-daerah yang telah memiliki Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) perlu memberlakukan RUTR itu secara ketat dan konsisten. Bagi daerah-daerah yang belum memilikinya, agar menyusun RUTR dengan memasukkan potensi dan kebutuhan air pada wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya RUTR
yang telah disepakati agar disosialisasikan kepada masyarakat dan para perancang dan pelaku program pembangunan. Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan selain penyusunan dan pemberlakuan RUTR secara tegas adalah:

(1) Penetapan mekanisme ganti rugi aset negara dan masyarakat yang terkena alih fungsi
Misalnya fasilitas irigasi yang tidak dapat berfungsi lagi; dan ganti rugi bagi petani     karena air irgasinya terputus.
(2) Berbagai peraturan dan perundangan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan agar benar-benar ditegakkan secara konsekuen dengan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang melanggar.
(3) Jika diizinkan akan ada alih fungsi maka organisasi P3A beserta PU Pengairan perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan guna menghindari timbulnya konflik di belakang hari.

Ke depan, pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi
supaya menerapkan pendekatan yang berimbang, yaitu memperhatikan keseimbangan
yang harmonis antara aliran ekosentrik dan aliran antroposentrik,
disebut pendekatan eko-antroposentrik.






                                                
B. PENUTUP

Sebagai penutu penulis menarik kesimpulan bahwa subak sebagai sistem irigasi air dan pengendalian alih fungsi lahan memiliki kearifan teknologi yang universal yaitu :

1.      Software
·         Mengaembangkan konsep bahwa air adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga air harus dijaga dengan sebaiknya,agar lestari.
·         Mengembangkan konsep adil dan proporsional dalam pembagian air irigasi, serta dalam pembagian manfaat dan biaya.
·         Mengembangkan konsep pengaturan secara jelas dan rinci dalam pelaksanaan kegiatan subak, yang dituangkan dalam bentuk awig-awig (aturan tertulis), dan aturan tidak tertulis lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Awig-awig umumnya ditulis berdasarkan konsep
Parhayangan.

2.      Hardware
·         Topografi lahan subak umumnya miring dan sawahnya bertingkat, yang bertujuan untuk memudahkan pengaturan sistem irigasi (suplesi dan drainasi)
·         Bangunan bagi dibuat dengan bahan lokal yang mudah didapat dari lingkungan sekitarnya menganut sistem one inlet and oulet pada setiap blok/komplek pemikiran sawah petani, sehingga setiap petani dapat mengembangkan sistem diversikasi pertanaman untuk peningkatan kesejatehteraannya. Sistem ini juga dapat mengembangkan kebijakan saling pinjam air irigasi antar petani, sehingga dapat mencegah pencurian air dan konflik.
·         Ada batas yang jelas antar subak dan setiap sistem subak sudah memiliki jaringan irigasinya sendiri (termasuk sistem drainasi).
·         Kemungkinan adanya terowongan air, yang umumnya dibuat secara tradisional, antara lain dengan membuat tinggi terowongan yang sepadan dengan tinggi manusia pada saat pembuatan terowongan, pada saat membuat terowongan menggunakan penerangan lampu minyak tanah (lampu templok) sehingga tidak mudah meledak dan akan segera apinya mati bila di dalam terowongan sudah kekurangan oksigen. Pada setiap panjang tertentu dibuatkan akses dari terowongan ke alam bebas, dengan tujuan untuk memasukkan udara segar/ oksigen.

3.      Organaware
·         Ada sistem organisasi yang otonum (sehingga keputusan organisasi diambil dengan cepat), fleksibel (sehingga mudah dikembangkan), dan herarkinya jelas yakni hingga ketingkat kabupaten/kota.
·         Masa kerja kepengurusan jelas, sehingga penggantian pengurus dapat dilakukan dengan tertib.

4.      Humanware
·         Selalu ada orang-orang yang bersedia menjadi pengurus organisasi, meski organisasi subak bersifat sosial.
·         Pengabdian sebagai pengurus sering dianggap pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan anggota subak sering takut melanggar aturan subak, karena ketakutannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai dewa wisnu atau dewi sri.
5.      Infoware
·         Sistem subak sebagai suatu organisasi mampu menjadi saluran informasi untuk mencapai tujuan organisasi, misalnya dalam pelaksanaan program bimas, inmas, dan kegiatan pembangunan lainnya dibidang peranian.





DAFTER PUSTAKA


Anonim, 2001. “Memprihatinkan Limbah Hotel dan Rumah Tangga di Badung dan Denpasar”,. dalam
Bali Post, Kamis 12 April.
Atmanto, Sudar Dwi., 1993. “ Pertanian dan Irigasi Air Limbah.”, dalam Irigasi Petani No.11/V/1993.
hlm. 1-3, Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Irigasi (PSPI), LP3ES.
Helmi., 1997. “ Kearah Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangan dan Agenda
untuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi di Masa Depan”. Dalam VISI Irigasi
Indonesia Nomor 13 (7) 1997.hlm. 3-12, Jakarta: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas.
Mahar, Mahyudi., 1999. “ Pendekatan Watershed Management dalam Pengelolaan Sungai”, dalam
Dinamika Petani No. 34 Tahun X / 1999. hlm. 10-14.Jakarta: Pusat Studi Pengembangan
Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES.
Martius, Endry., 1997. Penyesuaian Peran Birokrasi dan Pemberdayaan Ekonomi Petani: Etika
Pendayagunaan Sumberdaya Air di Indonesia”, dalam VISI Irigasi Indonesia Nomor 13 (7)
1997. hlm. 12-32. Padang: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas.
,
Nagata, Keijiro., 1991. “The Maturation of the Japanese Economy and the Role of Agriculture”, dalam
The Committee for the Japanese Agriculture Session, XXI IAEE Conference (ed). Agriculture
and Agricultural Policy in Japan., hlm.189-201,Tokyo: University of Tokyo Press.
13
Nasoetion , Lufti dan Joyo Winoto., 1996. “ Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya
Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan”, dalam Hermanto., Pasaribu, Sahat M..,
Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan
Air:Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan., hlm.64-82. Jakarta: Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian .
Kurnia, G., Arianto, T., Judawinata, R., Sufyandi,A., Rija., dan D. Hermajanda. 1996. “Persaingan
dalam Pemanfaatan Sumberdaya Air”, dalam Hermanto, Pasaribu., Sahat M.., Djauhari, A.,
dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan
Air:Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. hlm.190-207. Jakarta: Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian .
Osmet.,1996. “Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan”,
dalam Hermanto., Pasaribu, Sahat M.., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Tergadap Keberlanjutan Swasembada
Pangan.hlm.208-225. Jakarta: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian