Sabtu, 12 Maret 2011

Tentang Hortikultura

         
Pemerintah mendorong pengembangan kawasan hortikultura yang mengintegrasikan lahan penanaman, pengemasan dan memiliki rantai pasokan hingga ke konsumen.

"Sekarang ada 16 kawasan yang sudah diidentifikasi untuk itu. Kita akan keroyok habis-habisan dari semua Ditjen Deptan dan Departemen lain," kata Menteri Pertanian Anton Apriantono dalam dialog dengan petani di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Minggu (22/3).

Selama ini, kawasan hortikultura kurang terintegrasi dan tidak dilengkapi fasilitas penanganan pascapanen sehingga petani tidak mendapatkan harga jual yang baik.

Menurut dia, setiap kawasan hortikultura seharusnya terintegrasi dengan fasilitas pengemasan dan tempat pemilahan. "Harus ada kelembagaannya, ada rantai pasok sampai dengan konsumen akhir. Di seluruh Indonesia, tapi kita harus fokus, kalau di sini sudah kita bangun, kita akan fokus di sini dulu karena anggaran terbatas," ujarnya.

Dirjen Hortikultura Ahmad Dimyati menjelaskan dalam tahun 2009 ini pemerintah akan fokus mengembangkan 16 kawasan yang berpotensi menjadi kawasan hortikultura terpadu.

"Kita akan kembangkan sekaligus 16 kawasan, tapi akan ada penekanan untuk daerah tertentu. Di sini (Luwu Utara) dikembangkan durian. Ini harus masuk kawasan ke -17 mungkin nanti," katanya.

Dimyati menjelaskan pengembangan kawasan hortikultura tidak hanya didukung oleh Departemen Pertanian namun juga melibatkan Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal, Departemen Pembangunan Umum dan Departemen Perdagangan.

"Yang terlibat bukan hanya Deptan saja, misalnya untuk kawasan hortikultura jenis sayur-mayur di Pemalang, Departemen Perdagangan yang membangunkan pasarnya," ujarnya.

Enam belas kawasan hortikultura yang diprioritaskan yaitu mangga di kawasan Cirebon, Indramayu, Majalengka, Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso; bawang merah di Brebes, Cirebon, Kuningan; jamur di Karawang dan Subang; cabai Ciamis dan Tasikmalaya; manggis di Purwakarta, Subang, Tasikmalaya dan Bogor; melon di Pekalongan, Karanganyar, Sragen; temulawak di Semarang; salak di(11) Sleman, Banjarnegara, Magelang; nanas di Kuburaya, Pontianak (Kalimantan barat); kentang di Modoinding.

Sedangkan untuk kawasan tanaman hias daun potong di Magelang, Semarang, Wonosobo dan Boyolali, tanaman taman di Sumatera Barat (Padang, Padang Panjang, Bukittinggi), Riau (Pekanbaru) dan Kepulauan Riau, Batam dan Bintan; bunga dan daun potong di Jawa Barat (Bandung, Bandung Barat, Cianjur dan Sukabumi, Anggrek, bunga dan daun potong di Jabodetabek dan Bunga Potong di Tomohon (Sulawesi Utara).
Konsumsi Hortikultura Indonesia Masih Rendah
BANDARLAMPUNG - Masyarakat Indonesia masih rendah dalam mengkonsumsi produk hortikultura serta masih jauh dari target yang direkomendasikan Badan Pangan Dunia (FAO).

"Kita terus meningkatkan konsumsi warga akan produk hortikultura, tahun 2009 ditargetkan untuk sayuran 43,5 kilogram per kapita per tahun dan buah 37,5 kilogram per kapita per tahun," kata Dirjen Hortikultura Deptan, Achmad Dimyati, di Bandarlampung, Selasa (24/3).

Menurut dia, saat menghadiri Pekan Raya Hortikultura ke-4 Provinsi Lampung, asupan hortikultura yang direkomendasikan Badan Pangan Dunia yakni 75 kilogram per kapita per tahun.

Karena itu, lanjutnya, berbagai upaya harus dilakukan untuk terus meningkatkan produksi serta konsumsi masyarakat akan produk hortikultura. "Kebijakan untuk itu tidak hanya di Deptan, tetapi juga harus diikuti Departemen Pendidikan, Dinas Kesehatan dan peran kaum ibu-ibu PKK di daerah," katanya.

Sementara itu, Deptan membuat program peningkatkan produk hortikultura dengan membentuk dan menunjuk daerah kawasan penghasil hortikultura.

Sampai saat ini ada sekitar 17 daerah yang dijadikan kawasan tersebut dan akan terus bertambah seiring dengan keberadaan dan kemampuan daerah untuk mengidentifikasi produk yang bisa dijadikan unggulan.

"Provinsi Lampung contohnya, memiliki potensi untuk pengembangan kelengkeng dataran rendah serta meningkatkan produksi nanas serta pisang. Suatu saat bisa dijadikan kawasan hortikultura," katanya.

Ahmad Dimyati menambahkan, dari kawasan hortikultura tersebut telah mengekspor berbagai komoditas seperti buah manggis dari Purwakarta, Tasikmalaya, Bogor, Sumater Barat, dan Sumatera Utara.

Kemudian, ekspor salak dari Sleman, ekspor mangga dari Pantura, ekspor sayuran seperti kentang dari Lembang, ekspor sayuran daun dari Kepri, serta ekspor tanaman hias.

Negara tujuan ekspor yakni Timur Tengah, Cina, Jepang, Singapura, dan Hongkong, serta produk Lampung yang sudah menjadi makanan olahan seperti nenas dan pisang pun diekspor ke Amerika Serikat./ant/itz

Prospek Ranum Hortikultura

Upaya pemerintah menggenjot kinerja industri agrobisnis di Tanah Air, tampaknya bukan sekadar isapan jempol belaka. Buktinya, pemerintah melalui departemen pertanian, dalam waktu dekat akan menyiapkan 66 wilayah di dalam negeri untuk dijadikan kawasan agrobisnis hortikultura. Pengembangan kawasan hortikultura ini nantinya akan diterapkan berdasarkan komoditi dan jenis usaha tani. Seperti diketahui, komoditi di sektor agrobisnis hortikultura itu meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman biofarmaka (obat-obatan). Menurut Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian, pengembangan kawasan hortikultura itu, antara lain, dilakukan
melalui perbaikan kawasan yang sudah ada maupun pembentukan kawasan baru. “Dalam kawasan itu akan dibuat usaha besar-besaran yang dilengkapi fasilitas dan faktor pendukung lainnya,” ujar Ahmad. Pemerintah berharap, dengan adanya kawasan agrobisnis, ekspor komoditi hortikultura bisa ditingkatkan. Maklum, pemerintah melihat penanganan komoditi di sektor ini belum optimal. Padahal jumlah komoditi hortikultura saat ini telah mencapai 323 varietas, yang terdiri dari 80 varietas sayuran, 60 varietas buah-buahan, 117 varietas tanaman hias, dan 66 varietas tanaman biofarmaka.  
Sejatinya, rencana pemerintah membentuk kawasan agrobisnis hortikultura, juga
didorong oleh besarnya potensi bisnis di sektor ini. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, ekspor komoditi di sektor ini mengalami peningkatan selama kurun waktu 2001-2005. Pada 2001, misalnya, volume ekspor tanaman hortikultura tercatat sebesar 340.337 ton. Namun pada 2005, volume ekspornya meningkat menjadi 354.642 ton. Dari sisi nilai ekspor juga menunjukkan peningkatan, dimana pada tahun 2001 nilai ekspor hortikultura baru sebesar US$172 juta, kemudian meningkat menjadi US$ 206,6 juta pada 2005. Selama ini, ekspor komoditi hortikultura Indonesia, antara lain, yakni ke Singapura, Taiwan Cina, Jepang, Singapura, Amerika Serikat, dan sejumlah negara eropa lainnya. Volume dan nilai ekspor hortikultura itu dipicu oleh semakin membaiknya produksi tanaman hortikultura. Produksi buah-buahan, misalnya, dalam lima tahun terakhir (2001-2005) secara
 konsisten menunjukkan peningkatan, dengan skala pertumbuhan rata-rata mencapai 10% per tahun. Pada 2001, produksi buah-buahan baru sekitar 9.959.032 ton. Namun pada 2005 skalanya meningkat menjadi 14.313.101 ton. Produksi sayuran dalam lima tahun terakhir (2001-2005) juga cenderung meningkat, dengan rata-rata peningkatan sebesar 5,43% per tahun. Pada tahun 2001, produksi sayuran baru
sebanyak 7.425.861 ton, tapi meningkat menjadi 9.011.417 ton pada 2005.
Hal yang sama juga terjadi pada produksi tanaman hias. Selama lima tahun terakhir (2001-2005), secara umum mengalami peningkatan rata-rata sebesar 14% per tahun. Jika pada 2001 produksi tanaman hias baru mencapai 102.774.319 tangkai, pada 2005 produksinya meningkat menjadi 159.309.068 tangkai. Begitu pula produksi tanaman biofarmaka, dalam kurun waktu 2001-2005 produksinya menunjukkan peningkatan dengan rata-rata laju peningkatan sebesar 6,5% per tahun. Jika pada 2001 produksinya baru sekitar 193.018 ton, pada 2005 produksinya telah mencapai 282.204 ton.
Jika ditotal secara keseluruhan, produksi hortikultura selama 2001-2005 menunjukkan
Peningkatan
sebesar rata-rata 9,49% per tahun. Kalau saja produksi tanaman hortikultura menunjukkan grafik peningkatan, tentu bukan tanpa sebab. Soalnya, luas lahan panen komoditi hortikultura juga mengalami peningkatan. Untuk diketahui, luas panen buah-buahan selama lima tahun terakhir (2001-2005) cenderung meningkat. Pada 2001, luas tanaman buah-buahan yang menghasilkan sebesar 482.942 hektar, meningkat menjadi 673.062 hektar pada 2005. Peningkatan luas panen itu sejalan dengan peningkatan
produktivitas pada periode yang sama. Luas panen sayuran selama lima tahun terakhir (2001- 2005) juga cenderung meningkat, yakni dari 768.700 hektar pada 2001 menjadi 1.031.896 hektar pada 2005. Luas panen tanaman hias pada periode 2001-0005 juga meningkat. Rata-rata peningkatan sebesar 54,86% per tahun. Untuk tanaman biofarmaka luas panennya berfluktuasi dan mengalami peningkatan yang tidak signifikan.
Dari gambaran di atas, boleh dibilang, komoditas hortikultura memiliki peluang dan prospek untuk dikembangkan. Apalagi, Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura juga cukup mengesankan. Berdasarkan catatan Ditjen Hortikultura, sepanjang 2005, nilai PDB hortikultura mencapai US$ 44 miliar. Skala itu malah meningkat di tahun selanjutnya menjadi US$ 46 miliar. Di tahun ini, bahkan pemerintah telah menargetkan nilai PDB hortikultura bisa mencapai US$ 49 miliar, dan US$ 51 miliar pada 2008.
Sobir, Kepala Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB, mengatakan, niat pemerintah
mengembangkan kawasan hortikultura patut didukung. Sebab, kendala terbesar yang dialami sektor agrobisnis hortikultura nasional, adalah skala usahanya yang belum ekonomis. “Setiap usaha itu harus ada skala ekonomi secara minimum,” katanya.
Menurut Sobir, lazimnya, para petani hortikultura hanya mengusahakan tanamannya di lahan yang tak begitu luas. Rata-rata tingkat kepemilikan lahan petani di sektor ini baru mencapai 0,2 hektar per petani. Akibatnya, usaha tani tidak efisien, sulit mendapatkan dukungan pembiayaan, sulit melakukan perbaikan teknologi, tidak mencapai skala layak pasar, dan pada akhirnya tidak bisa memberikan pendapatan yang cukup pada petani sebagi pelaku usaha di sektor ini. Jadi, jangan heran, jika para petani di Indonesia masih kurang serius menggarap lahannya. Kendati memiliki lahan perkebunan, di antara mereka justru lebih tergiur mencari nafkah di sektor lainnya. “Para petani lebih baik menjual lahannya, ketimbang mengolahnya dengan biaya yang tinggi. Makanya, pendapatan para petani itu 70%-nya berasal dari luar sektor pertanian,” ujar Sobir.
Bukan cuma itu. Jarak lokasi lahan antara satu petani dan petani lainnya yang menanam satu jenis komoditi—misalnya mangga di Indramayu, Jawa Barat—juga sangat berjauhan. Karena itu, ketika pihak distributor tengah butuh pasokan mangga, ongkos yang harus mereka keluarkan juga berlipat. Makanya, jangan heran ketika buah itu sampai ke tangan konsumen, harganya menjadi mahal.
Dengan kondisi seperti itu, wajar pula, jika komoditi hortikultura—terutama buah—kerap kalah bersaing dengan komoditi asing. Itu sebabnya, Sobir mendukung rencana pemerintah mengembangkan kawasan agrobisnis hortikultura. Untuk itu, Sobir menyarankan, dalam kawasan hortikultura itu seyogianya luas kawasan ditentukan oleh jumlah populasi tanaman. Untuk tanaman buah pohon tahunan, misalnya, luasan kawasan yang layak adalah 500 hektar, atau sekitar 50.000 pohon. Sedangkan untuk tanaman buah terna adalah 100 hektar atau 100.000-150.000 pohon. Dengan tingkat skala jumlah lahan dan pohon itu, diharapkan dapat mencapai skala ekonomi yang efisien dan memiliki daya saing pasar. Sobir memang tak salah. Dalam era liberalisasi perdagangan dewasa ini, produk hortikultura Indonesia dituntut mempunyai keunggulan daya saing dengan performa dan kualitas tinggi, terstandarisasi sesuai dengan preferensi konsumen, serta harga layak. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan dalam hal mutu, produktivitas, efisiensi produksi, penanganan pasca panen, pengolahan hasil dan promosi pemasaran. Dengan begitu, mampu memberikan nilai tambah dan
keuntungan yang layak bagi pelaku usaha. Dan semua itu bisa dicapai dengan adanya sebuah kawasan hortikultura





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar